Pura Bakungan

Meningkatkan Kewaspadaan di Pura Bakungan

Latar belakang keberadaan Pura Bakungan di Desa Gilimanuk Kecamatan Melaya Kabupaten Jembrana patut dijadikan renungan untuk menatap masa depan yang lebih waspada dalam hidup ini. Akibat kecurigaan I Gusti Ngurah Pecangakan atas undangan adiknya, dia berpesan yang salah kepada patihnya. Seandainya I Gusti Ngurah Pecangakan tidak mudah curiga pada undangan adiknya, atau menyelidikan terlebih dahulu apa maksudnya I Gusti Ngurah Bakungan mengundang, mungkin peristiwa yang menyedihkan itu tidak akan terjadi. Mengapa sejarah Pura Bakungan ini perlu diungkap lagi? Pelajaran apa yang kita dapat di balik Pura Bakungan itu?

====================================================

Dalam kehidupan bermasyarakat banyak terjadi permusuhan atau kesalahpahaman karena kekurangwaspadaan menerima informasi. Jangankan informasi itu bersifat lisan, yang tertulis pun perlu dianalisis dan direnungkan terlebih dahulu sebelum mengambil kesimpulan. Ketidakwaspadaan I Gusti Ngurah Pecangakan disertai juga ketidakhati-hatian I Gusti Ngurah Pancoran sebagai Manca Agung menerima pesan dan melihat kenyataan.

Pesan I Gusti Ngurah Pecangakan dan kenyataannya ada kuda berdarah-darah tidak dianalisis dengan logika dan diadakan pengecekan pada pesan yang kenyataan tersebut. Menetapkan suatu keputusan dan memberikan pesan kepada kerabat kerajaan I Gusti Ngurah Pecangakan tidak melalui proses analisis yang memadai. Hanya berdasarkan kecurigaan. Padahal keputusan tersebut amat strategis karena menentukan nasib sebuah kerajaan.

Demikian juga I Gusti Ngurah Pancoran sebagai Manca Agung saat memutuskan bahwa kuda yang berdarah-darah itu sudah pasti darah kakaknya, tidak melalui proses analisis. Padahal keputusan itu sebelum ditetapkan seyogianya melalui analisis. Sejauh mana keadaan kuda yang belepotan darah. Apa tidak sebaiknya dijajaji dahulu keberadaan I Gusti Ngurah Pecangakan apa memang sudah mati dalam pertempuran atau tidak. Hal inilah yang tidak dilakukan. Semuanya lalai tidak waspada, akibatnya dua bersaudara menjadi bermusuhan dan dua kerajaan hancur berantakan.

Kelalaian inilah yang patut direnungkan sebagai latar belakang keberadaan Pura Bakungan. Meskipun hal ini sebagai pengalaman buruk, namun dari pengalaman itu dapat dipetik hikmahnya agar jangan terulang pada diri kita maupun generasi seterusnya.

Untuk mengambil suatu keputusan dalam hidup ini memang ada hal-hal yang wajib kita lakukan sebelumnya. Lebih-lebih di Bali yang keberadaan daerahnya sempit, namun banyak hal yang memuat orang tertarik pada Bali. Ibarat wanita cantik banyak pemuda yang menaruh hati padanya. Dalam menetapkan suatu kebijakan, apalagi yang menyangkut nasib Bali ke depan wajib kita analisis dengan sebaik-baiknya. Kalau salah cara menetapkan suatu kebijakan umat manusia bisa kehilangan Bali yang sebenarnya.

Untuk mengambil suatu keputusan Resi Patanjali menyatakan ada lima tahapan yang wajib dilakukan yakni Tarka artinya segala sesuatunya wajib diperdebatkan terlebih dahulu. Di Bali ada istilah ruang musuhin. Maksudnya segala sesuatu sebelum diambil keputusan wajib dilihat apa baiknya dan apa juga buruknya. Menyangkut ajaran Tarka ini hendaknya tidak disamakan dengan bertengkar. Nirwitarka maksudnya adalah setelah diperdebatkan, maka hasil perdebatan itu direnungkan kembali.

Sawicara artinya hasil renungan tersebut lebih lanjut dianalisis dengan secermat mungkin. Selanjutnya Nirwicara artinya hasil analisis itu kembali direnungkan juga secara mendalam. Tahap akhir barulah Samanta, artinya diambil keputusan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Lima tahapan itulah yang semestinya dilakukan dalam mengambil suatu keputusan, lebih-lebih menyangkut hal-hal yang mengandung risiko besar, apalagi menyangkut kepentingan orang banyak.

Dalam Lontar Siwa Budhagama Tattwa ada juga ajaran untuk mengambil suatu keputusan dengan melakukan lima tahapan yaitu Maya, Upeksa, Indrajala, Wikrama dan Lokika. Maya artinya segala sesuatu data yang masih kabur hendaknya dibuat jelas. Atau tahapan pengumpulan data. Upeksa artinya data yang sudah jelas itu dianalisis dengan cermat. Indrajala artinya hendaknya dari data yang telah teranalisis itu diambil beberapa kesimpulan untuk dianalisis kembali berbagai segi positif dan negatifnya. Wikrama artinya bertindak.

Salah satu dari beberapa kesimpulan dalam proses Indrajala itu harus ditetapkan untuk dilaksanakan. Selanjutnya dilaksanakan dan diyakini paling sedikit segi negatifnya berdasarkan hasil analisis tersebut. Lokika artinya dalam bertindak melaksanakan keputusan yang ditetapkan itu hendaknya selalu berdasarkan pertimbangan logika atau akal sehat.

Demikian beberapa konsep pemikiran dalam Susastra Hindu yang wajib kita renungkan dalam setiap mengambil keputusan, apalagi menyangkut hal-hal yang mengandung risiko besar dan dampak sosialnya yang luas.

Keberadaan Pura Bakungan dapat dijadikan media untuk membangun kewaspadaan diri dan sosial dalam menata berbagai aspek kehidupan. Di samping itu dua bersaudara yaitu I Gusti Ngurah Pecangakan dan adiknya I Gusti Ngurah Bakungan setelah perang tanding sama-sama menyadari kelalaiannya sebagai pemimpin. Kesadaran akan kelalaiannya itu menyebabkan dua kerajaan menjadi bermusuhan dan menyebabkan penderitaan rakyat.

Kesadaran itu menyebabkan dua bersaudara itu mohon agar Dewata mem-pralina dirinya. Hal itu sebagai rasa tanggung jawab atas kesalahannya. Hal itu sebagai sifat kesatria, seperti kebiasaan pemimpin di Jepang mundur diri kalau merasa gagal. Ini maksudnya untuk memberi kesempatan kepada orang lain demi kepentingan orang banyak.

Sifat kesatria seperti itu perlu direnungkan agar jangan pemimpin yang jelas sudah gagal tetap memaksakan diri bercokol menjadi pemimpin hanya untuk mendapatkan fasilitas hidup enak. Permohonan dua bersaudara I Gusti Ngurah Pecangakan dan I Gusti Ngurah Bakungan itu bukanlah suatu kekonyolan, tetapi suatu penyerahan diri kepada Hyang Widhi atas kelalaiannya untuk mendapatkan perbaikan.

Ke depan sifat kesatria seperti itu tentunya tidak mesti diwujudkan dengan cara bunuh diri. Akan lebih indah dengan mundur diri kalau memang sudah nyata-nyata gagal sebagai pemimpin. (by: Wiana)



sumber
Bali Post edisi 5 September 2007

Pura Goa Lawah

Pura Jati

Pura Tirta Empul

Pura Pakendungan Tanah Lot

Pura Ulun Danu Batur

Pura Taman Ayun

Pura Kehen

Pura Luhur Batu Karu

Pura Uluwatu

Pura Besakih

Pura Perapat Agung

Pura Segara Rupek

Pura Segara Rupek

Menjaga Bali dari Segara Rupek
TAK banyak yang tahu, ujung terjauh Bali di bagian barat bukanlah di Gilimanuk, melainkan di Segara Rupek. Dalam peta Pulau Bali, lokasi Segara Rupek ini tepat berada di ujung hidung Pulau Bali. Ini termasuk wilayah Kabupaten Buleleng. Dari sinilah sesungguhnya jarak dekat antara Bali dengan Jawa dan di sinilah secara historis menurut sumber-sumber susastra-babad, kisah pemisahan Bali dengan Jawa dimulai, sehingga Bali menjadi satu pulau yang utuh dan unik.

Bisa dimengerti apabila tak banyak orang tahu betapa penting dan strategis keberadaan Segara Rupek bagi Bali. Untuk mencapai Segara Rupek relatif tidak mudah, bila hendak menempuh jalan darat satu-satunya jalan yang bisa ditempuh mesti melewati jalan menuju ke Pura Prapat Agung dan dari lokasi Pura Prapat Agung ini masih harus dilanjutkan lagi menempuh perjalanan darat sekitar 5 km menelusuri hutan lindung Taman Nasional Bali Barat (TNBB).

Kondisi sarana, prasarana dan infrastruktur yang belum memadai demikian kiranya turut pula mempengaruhi Segara Rupek tidak mendapat perhatian semestinya, baik dari kalangan tokoh masyarakat Bali, bahkan juga dari kalangan pemimpin di Bali. Di Segara Rupek hingga kini belum ada pelinggih sebagai tonggak atas suratan sejarah, padahal lokasi ini jelas-jelas menjadi babakan dan tonggak penting dalam sejarah Bali.

Berdasarkan sumber susastra maupun berdasarkan keyakinan spiritual, saya menemukan bahwa lokasi Segara Rupek sudah sepatutnya diperhatikan sekaligus di-upahayu. Yang ada sejauh ini masih kurang layak. Menurut lontar Babad Arya Bang Pinatih, Empu Sidi Mantra beryoga semadi memohon kerahayuan seisi jagat kehadapan Sang Hyang Siwa dan Sang Hyang Baruna Geni, Danghyang Sidimantra dititahkan untuk menggoreskan tongkat beliau tiga kali ke tanah, tepat di daerah ceking geting. Akibat goresan itu air laut pun terguncang, bergerak membelah bumi maka daratan Bali dan tanah Jawa yang semula satu itu pun terpisah oleh lautan, lautan itu dinamakan Selat Bali.

Guna lebih mempertebal rasa bakti sesuai dengan sumber susastra, dan ikut juga mayadnya ngastitiang kerahayuan jagat Bali, bahkan seluruh wilayah Indonesia maka: ngatahun awehana uti; nista, madya, utama ayu jawa pulina mwang banten bali pulina suci linggih dewa, paripurna nusantara. Artinya: setahun sekali dilakukan upacara pakelem, banten dirgayusa bumi, tawur gentuh pada hari Anggara Umanis, Wuku Uye.

Source : I Nyoman Laba - Bali Post

Segara Rupek Selat Bali Yoga Semadi Dang Hyang Sidhimantra Leluhur Orang Bali
Oleh Ahmad Prajoko
S egara Rupek berada di ujung Barat Pulau Bali yaitu di Selat Bali. Dari sinilah sesungguhnya jarak terdekat antara Bali dan Tanah Jawa yang berada disebelah Baratnya. Ujung Barat daratan Bali tampak jelas diseberang dengan lokasi terkait diujung Timur tanah Jawa yang dinamakan Batu Dodol di Wilayah Banyuwangi Jawa Timur.

Kisah tentang pemisahan Bali dengan Jawa, sehingga Bali menjadi satu pulau yang utuh, ceritanya adalah:

Prasasti Pasek Berjo Selunglung menyuratkan bahwa Segara Rupek terbentuk setelah Dang Hyang Sidhimantra beryoga semadi memohon keselamatan seisi jagat termasuk untuk keselamatan putra tunggalnya yang bernama Manik Angkeran, yang dipersembahkan sebagai pengayah atau pekerja pembantu kepada Ida Betara Sanghyang Naga Basuki di Besakih, Bali.

Dalam Yoga Semadi kehadapan Sanghyang Siwa dan Sang Hyang Baruna Geni sebagai Penguasa Samudra Raya, Dang Hyang Sidhimantra dititahkan supaya mengoreskan tongkat tiga kali ketanah, tepat di jalan ceking atau ruas jalan yang paling sempit. Akibat goresan tongkat tersebut, air laut terguncang, bergerak membelah bumi. Maka daratan tanah Bali dan Tanah Jawa yang satu itu pun terpisah oleh lautan. Jawa dan Bali pun terpisah, jadilah Segara Rupek atau Lautan Sempit yang kini dinamakan Selat Bali.

Dang Hyang Sidhimantra Keturunan Sapta Rsi

Sapta Rsi atau Tujuh Pandhita, adalah leluhur orang Bali dari kelompok Warga Pasek Sanak Pitu. Ke tujuh Resi yang menurunkan Pasek Sanak Pitu adalah : Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Widnyana, Mpu Witadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka dan Mpu Dangka. Ke tujuh pandhita ini adalah putra-putra dari Mpu Agni Jaya yang berasrama di Gunung Lempuyang. Sebelumnya beliau bergelar Sang Brahmana Pandhita. Beliau besaudara lima, yaitu Sang Brahmana Pandhita sendiri, Mpu Semeru yang berasrama di Besakih, Mpu Gana di Gelgel, Mpu Kuturan di Silayukti dan Mpu Bradah di Kahuripan. Kelima Pandhita tersebut diatas disebut Panca Tritha. Kelima Pandhita itu adalah putra-putra Bhatara Hyang Agni Jaya yang beristhana di Gunung Lempuyang.

Sedangkan Bhatara Agni Jaya adalah putra dari Sanghyang Pasupati, yaitu Ida Hyang Widhi, yang bersthana di Gunung Mahameru India. Bhatara Hyang Agni Jaya adalah termasuk Asta Dewata, yang dianggap sebagai putra-putra Hyang Pasupati. Asta Dewata itu adalah :1.Bhatara Mahadewa bersthana di Gunung Agung, 2.Bhatara Hyang Putra Jaya juga bersthana di Gunung Agung, 3. Bhatara Danuh di Ulun Danu Batur, 4. Bhatara Hyang Agni Jaya sendiri bersthana di gunung Lempuyang, 5. Bhatara Tumuwuh bersthana di Gunung Batukaru, 6. Bhatara Manik Gumayang bersthana di Pejeng, 7. Bhatara Manik Galang bersthana di Pejeng, 8. Bhatara Hyang Tugu di Bukit Andakasa.

Tampak sekali dalam uraian diatas, bahwa setelah Panca Pandhita keatas lalu dihubungkan dengan Dewa-dewa manifestasinya Tuhan (Asta Dewata). Hal ini membuktikan bahwa leluhur diatas itu tidak dapat dilacak lagi. Namun kendati pun demikian, pengkaitan dengan asta dewata lalu kepada Hyang Pasupati yang bersthana di Gunung Mahameru, adalah merupakan petunjuk bahwa leluhur Panca Tirtha itu adalah berasal dari para Brahmana India, dari sekte keagamaan Siva (mazab Siva). Dan Pandhita-pandhita yang datang ke Indonesia dari India itu adalah dari Garis Perguruan (Pasramaan) Maharkandya dan Agastya. Boleh jadi Panca Pandhita itu leluhurnya adalah garis perguruan Agastya, sebagai pusat pengajaran mazab Siva.

Panca Pandita itu, konon mereka berguru ke India setelah selesai pendidikannya dan setelah didiksa mereka kembali ke Indonesia. Di Jawa mula-mula mereka mengajarkan agamanya. Kemudian setelah Mahendradatta kawin ke Bali, empat dari lima saudara itu pun ikut turun ke Bali untuk mengajarkan Agama Hindu. Berturut-turut datang ke Bali :

1. Mpu Semeru. Beliau adalah pemeluk sekte Siva, beliau datang ke Bali tahun 999 Masehi, beliau membuat pasraman di Besakih.

2. Mpu Ghana, penganut aliran Ghanapatya (sub sekte Siva). Beliau sampai di Bali pada tahun 1000 Masehi. Beliau mendirikan Pasraman di Gelgel.

3. Mpu Kuturan pengikut sekte Tantrayana (sumber lain mengatakan Buddha Mahayana). Beliau datang ke Bali pada tahun 991 Masehi. Di Bali beliau menjadi Brahmarsi dengan berasrama di Silayukti Padang.

4. Mpu Gni Jaya. Beliau ke Bali tahun 1006 Masehi. Beliau berparahyangan di Gunung Lempuyang. Beliau adalah penganut Sekte Brahmanisme. Di tempat bekas Pasraman beliau sekarang telah berdiri sebuah pura Lempuyang Madia.

Mpu Bradah tidak ikut ke Bali. Beliau menetap di Jawa, mendampingi Prabhu Airlangga.Di Bali Mpu Agni Jayalah yang menjadi leluhur langsung Warga Pasek Sanak Pitu, melalui putra-putra beliau Sanak Sapta Rsi.

Mpu Bradah adalah saudara terkecil dari lima Rsi. Beliau tinggal di Jawa menjadi Bhagawannya Prabhu Airlangga. Beliau berasrama di Lemah Tulis, Pejarakan Jawa Timur. Beliau adalah pengikut Buddha Mahayana, sekte Bajrayana.

Mpu Bradah berputra dua orang, yaitu : Mpu Siwagandhu, dan Mpu Bahula. Mpu Bahula kawin dengan Ratnamanggali putri Mpu Kuturan dengan Rangdeng Girah, menurunkan Mpu Wira Angsokanatha, yang bergelar Mpu Tantular.

Mpu Tantular berputra 4 orang, yaitu : 1 Mpu Siddhimantra, 2. Mpu Panawasikan, 3. Mpu Smaranatha dan 4. Danghyang Kepakisan. Rupa-rupanya ke empat Mpu ini telah lahir pada jaman Singosari. Dan Mpu Tantular betul-betul umurnya sangat panjang. Mungkin mencapai seratus tahun lebih.

Dalam garis keturunan ini Mpu Sidhimantra hanya berputra seorang, yaitu Wang Bang Manik Angkeran. Ketika mudanya Manik Angkeran gemar berjudi sabungan ayam. Oleh karena itu ia diasramakan di Besakih untuk menghamba Hyang Besuki yang berwujud Naga. Ia pun mengambil genta ayahnya. Lalu di rapalkan Veda Nagastawa. Maka keluarlah Hyang Besuki. Pada puncak ekornya terdapat manik yang sangat gemerlapan, Wang Bang Manik Angkeran yang bebotoh, tergiur hatinya ingin memiliki manik itu, yang nantinya akan dijual. Maka dipotonglah ekor Naga Basuki itu. Hyang Basuki pun menjadi marah, lalu tubuh Wang Bang Manik Angkeran dijilatnya. Seketika Wang Bang Manik Angkeran menjadi abu. Hal ini segera diketahui oleh ayahnya. Mpu Sidhimantra dengan kesidiannya dapat menyambung ekor naga Basuki itu. Dan Wang Bang Manik Angkeran pun dihidupkan kembali. Akhirnya Manik Angkeran pun bertobat. Sejak itu Manik Angkeran berhenti berjudi, lalu menekuni bidang agama. Kemudian ia mediksa atau disucikan menjadi Mpu dengan gelar Danghyang Manik Angkeran. Beliau beristri dua. Seorang Widyadari dan seorang lagi dari warga biasa.

Keturunan Wang Bang Manik Angkeran sekarang tersebar di Bali, adalah generasi penerus Dang Hyang Sidhimantra pencipta Segara Rupek Selat Bali. Secara sosiologi pemisahan Bali-Jawa di Segara Rupek dimaksudkan oleh Dang Hyang Sidhimantra justru guna memproteksi kesucian Bali dari ancaman migrasi penduduk berlebihan, disamping untuk menekan angka tindak kriminal.

source : Paris Sweet Home

Pura Gede Perancak

Pura Gede Perancak terletak di desa Perancak, kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Bali. Dari Jalan Denpasar - Gilimanuk pada perempatan Tegalcangkring ke selatan arah Delodberawah, setelah sampai pada patung buaya yang ada di tengah jalan Delod Berawah belok kanan arah Desa Yeh Kuning dan Desa Air Kuning menuju ujung barat Desa Perancak. Pura Gede Perancak terletak di kampung nelayan tradisional.Odalan di Pura Gede Perancak jatuh pada Buda Umanis Medangsia.

Pura Majapahit Jembrana

Pura Majapahit ( Pura Sad kahyangan )adalah salah satu Pura yang tertua dan kemungkinan masuk Kahyangan Jagad, namun karna kurangnya umat Hindu yang memperhatikan, menjadikan Pura Majapahit ini tidak berkembang dengan baik. Pura Majapahit terletak di pingir sebelah selatan Jalan Denpasar - Gilimanuk di desa Baluk, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Jembrana, Bali, sekitar -/+ 30 menit ke timur dari Pelabuhan Gilimanuk.
Pura ini ber-Stana Dalem Majapahit yang menampung cerita tentang perjalanan bersama Macan putih dan Macan Hitam, sebelum Bathara Majapahit ke Denpasar .
Odalan Pura Majapahit di Jembrana jatuh pada Tumpek Wayang

Pura Rambut Siwi

Pura Luhur Rambut Siwi terletak di Jalan Denpasar - Gilimanuk di Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana, Bali Indonesia, 18 KM timur Kota Negara dan sekitar 200 meter ke selatan dari Pura Penyawangan( Pura yang terletak di pinggir jalan utama Denpasar - Gilimanuk, dan selalu di singgahi banyak pengguna jalan yang memohon Yeh Tirtha (air suci) agar mendapatkan keselamatan dalam perjalanan mereka). Pura Luhur Rambut Siwi di datangi oleh sebagian besar umat Hindu yang ada di Bali saat odalan Pura yang jatuh setiap 210 hari pada Buda(rabu), umanis, wuku prangbakat. Odalan yang jatuh pada hari biasa akan dilakukan Odalan Tingkatan Madia(menengah). Tapi jika bertepatan pada saat bulan Purnama atau Tilem maka akan dilaksanakan Odalan Tingkatan Utama(odalan Nadi).



Sekilas Cerita tentang Pura Luhur Rambut Siwi yang Berawal dari Sehelai Rambut.

Keberadaan Pura Luhur Rambut Siwi di Kabupaten Jembrana sudah sangat terkenal. Pada saat piodalan, umat dari berbagai penjuru memadati pura yang berlokasi di tepian laut ini. Berada sekitar 17 km arah timur kota Negara. Bagaimana sejarah pura ini?

ASAL mula Pura Rambut Siwi tertuang dalam Dwijendra Tatwa. Menurut Mangku Gede Pura Luhur Rambut Siwi Ida Bagus Kade Ordo, pura ini tidak terlepas dari kedatangan Danghyang Dwijendra. Mengutip Dwijendra Tatwa, ia menceritakan setelah beberapa lama di Gelgel, Danghyang Dwijendra ingin menikmati Bali. Beliau pun berangkat ke arah barat sampai di daerah Jembrana berbelok ke selatan dan berbalik lagi ke timur menyusuri pantai.
Saat menyusuri pantai tersebut, Beliau bertemu seorang tukang sapu di sebuah parahyangan. Tukang sapu tersebut sedang duduk di luar parahyangan. Ketika sang Pendeta lewat, dia pun menyapa sang Pendeta dan minta Pendeta tersebut jangan tergesa-gesa dan berhenti sebentar.
Tukang sapu itu mengatakan, parahyangan merupakan tempat yang angker dan keramat. Barang siapa yang lewat dan tidak menyembah akan diterkam harimau. Untuk itulah, dia minta sang Pendeta sembahyang di parahyangan sembari menghambat perjalanan sang Pendeta.
Danghyang Dwijendra pun menuruti keinginan si tukang sapu. Beliau lalu diantarkan masuk ke parahyangan.
Di depan sebuah bangunan pelinggih, Danghyang Dwijendra melakukan yoga, mengheningkan cipta menatap ujung hidung (Angghsana Cika) dan menunggalkan jiwatman-Nya kepada Ida Sang Hyang Widhi.
Ketika Beliau sedang asyik melakukan yoga, tiba-tiba gedong pelinggih tempat menyembah itu roboh. Peristiwa itu dilihat oleh tukang sapu. Dia lalu menangis dan mohon ampun kepada sang Pendeta. Tukang sapu itu merasa bersalah karena memaksa sang Pendeta menyembah di Parahyangan. Tukang sapu juga mohon dengan hormat disertai belas kasih sang Pandita agar parahyangan diperbaiki lagi. Tukang sapu ingin perahyangan dikembalikan seperti semula supaya ada yang mereka junjung dan sembah setiap hari.
Danghyang Dwijendra merasa kasihan juga karena melihat bangunan palinggih itu roboh ditambah lagi adanya tangisan tukang sapu. Beliau pun bersabda, akan memperbaiki bangunan itu dan membuatnya seperti sedia kala. Selanjutnya Danghyang Dwijendra melepaskan gelung hingga rambutnya terurai. Beliau mencabut sehelai rambutnya dan diberikan kepada tukang sapu. ''Danghyang Dwijendra berkata, rambut tersebut agar diletakkan di pelinggih yang ada di Parahyangan dan disiwi atau dijunjung atau disembahyangi agar semua mendapat selamat dan sejahtera. Tukang sapu menuruti apa yang disampaikan Danghyang Dwijendra dan dia juga menuruti semua nasihat Danghyang Dwijendra. Dari sinilah awal nama Pura Rambut Siwi,'' tutur Mangku Gede.
Karena hari sudah hampir malam, Danghyang Dwijendra pun berniat bermalam di Pura Rambut Siwi. Ternyata orang-orang yang datang makin banyak. Mereka datang untuk memohon nasihat agama dan mohon obat. Beliau lalu menasihatkan ajaran-ajaran agama, terutama mengenai bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi dan Batara-batari leluhurnya agar hidup sejahtera di dunia. Beliau juga mengingatkan agar setiap hari Rabu Umanis Perangbakat mengadakan pujawali di Pura Rambut Siwi untuk keselamatan desa.

Delapan Pura

Sampai saat ini pemedek yang tangkil ke Pura Rambut Siwi bukan hanya warga setempat saja. Banyak orang dari luar Jembrana datang ke pura untuk sembahyang dan mohon keselamatan serta kesejahteraan. Sekaa subak baik subak sawah maupun subak kering juga banyak yang melakukan persembahyangan di pura ini.

Di sekitar Pura Luhur Rambut Siwi terdapat tujuh pura atau delapan termasuk Pura Luhur. Bagi umat yang pedek tangkil diharapkan mengikuti urutan tersebut. Pertama, persembahyangan dilakukan di Pura Pesanggrahan yang letaknya di pinggir jalan Denpasar-Gilimanuk. Selanjutnya persembahyangan dilanjutkan ke Pura Taman yang berada di sebelah timur jalan masuk ke lokasi Pura Rambut Siwi.

Selesai di Pura Taman, pemedek menuju ke Pura Penataran. Lokasinya berada di timur Pura Luhur dan turun ke bawah. Selanjutnya persembahyangan dilanjutkan ke Pura Goa Tirta, Pura Melanting, Pura Gading Wani dan Pura Ratu Gede Dalem Ped. Setiap persembahyangan di Pura Ratu Gede Dalem Ped ini, pemedek mendapatkan gelang tridatu (hitam, merah, putih). Setelah itu, persembahyangan diakhiri di Pura Luhur Rambut Siwi.

Menurut Ida Ayu Putu Nuadnya, mangku istri di Pura Luhur Rambut Siwi, dari semua pura tersebut, Pura Penataran dan Pura Luhur merupakan pura inti, sedangkan yang lainnya merupakan pesanakan.

Di Pura Luhur terdapat 13 bangunan. Bangunan itu antara lain Padma, Pengayeng Gunung Agung, Meru Tiga linggih Ida Batara Sakti Wawu Rauh, Gedong, palinggih Ratu Nyoman Sakti, palinggih tumpang dua linggih Batari Dewa Ayu Ulun Danu, palinggih Rambut Sedana, Taksu, Pepelik, Piasan, Peselang, Bale Gong dan Gedong Pesimpenan Busana.

Karena secara geografis Pura Luhur Rambut Siwi berada di wilayah Yeh Embang, Mendoyo maka pekandel pura pun berasal dari tiga desa yang sekitar pura yakni Desa Yeh Embang Kangin, Yeh Embang dan Yeh Embang Kauh. Dari tiga desa ini terdapat delapan bendesa. Saat ini ketua pekandel dipegang Gusti Made Sedana, Bendesa Yeh Embang Kauh. Sementara itu, Pengempon pura berasal dari Kecamatan Mendoyo dan Pekutatan. Ketua pengempon dipegang Dewa Made Beratha.

Pada saat pujawali, selain Mangku Lingsir Istri Dayu Ketut Alit, Mangku Gede Ida Bagus Kade Ordo dan Mangku Istri Ida Ayu Putu Nuadnya, banyak pemangku yang ngayah di pura. Pembagian pemangku yang ngayah sudah diatur oleh bendesa masing-masing. Namun untuk sehari-harinya, Mangku Gede dan Mangku Istri yang berada di Pura Luhur. (wah)

Mohon Keselamatan di Perjalanan

JIKA melintasi jalan Denpasar-Gilimanuk di wilayah Yeh Embang, Mendoyo, banyak kendaraan yang berhenti di selatan jalan. Pengguna jalan yang beragama Hindu biasanya melakukan persembahyangan di tempat ini.
Bagi mereka yang sudah terbiasa, tempat ini disebut Pura Pesanggrahan Rambut Siwi. Jika menghadap ke selatan dari Pura Pesanggrahan ini, akan nampak Pura Luhur Rambut Siwi dengan background lautan membiru.
Begitu turun dari kendaraan, ada umat yang langsung masuk ke Pura Pesanggrahan dengan membawa canang sendiri atau membeli di sekitar Pura Pesanggrahan. Usai sembahyang, mereka mendapat percikan tirtha dari pemangku disertai doa semoga selamat dalam perjalanan. Bagi yang tidak membawa canang, mereka tinggal turun dari kendaraan. Pemangku pun dengan sigap akan melayani pemedek. Usai matirtha dan mendapat bija serta bunga, mereka mengaturan sesari. Tidak ada ketentuan berapa sesari yang diaturkan. Semua itu tergantung dari umat. Tak hanya umat saja yang didoakan supaya selamat dalam perjalanan. Kendaraan pun ikut diperciki tirtha dan dipasangi bunga serta bija.
Pada hari-hari biasa, ratusan lebih kendaraan mulai dari kendaraan pribadi hingga kendaraan umum berhenti untuk berdoa dan mohon keselamatan. Pada hari libur atau hari-hari piodalan, jumlah kendaraan akan meningkat. Rombongan yang matirtayatra ke tanah Jawa biasanya berhenti untuk sembahyang di Pura Pesanggrahan ini.
Demikian pula dengan rombongan yang plesir atau study tour ke Jawa.
''Kami tidak pernah memaksakan umat untuk berhenti dan sembahyang di Pura Pesanggrahan. Sembahyang itu tidak boleh dipaksakan,'' ujar Ida Ayu Putu Nuadnya, mangku istri di Pura Luhur Rambut Siwi. Sesari yang diperoleh dari pemedek, dipergunakan untuk biaya pujawali di Pura Luhur Rambut Siwi. (wah)

Source Bali Post Rabu Paing, 25 Januari 2006

Search Here